Pembaca artikel ini mungkin akan teringat bahwa dunia santri bukanlah dunia biasa. Meskipun kehidupan sehari-hari mereka seperti kebanyakan siswa pada umumnya, tetapi banyak penekanan khusus dalam berbagai pelajaran ditekankan di pesantren. Didorong oleh kesadaran yang baru, membantu siswa lebih memahami bidang agama, kebanyakan orang tua mendorong anak-anak mereka untuk pergi ke pesantren dan belajar disana untuk menjadi Santri. Contoh sederhana dari kebutuhan ini adalah ketika orang tua sebenarnya sudah tua dan tahu apa yang terjadi di akhirat. Dan pada saat kematian, tidak ada yang lebih penting daripada doa-doa dari generasi yang saleh dan murni yang mereka tinggalkan. Jika generasi mereka tidak memahami ini, mereka akan dilupakan setelah kematian dengan begitu saja.
Modernitas, dalam segala
implikasinya, membuat para orang tua khawatir akan masa depan anak-anaknya, sehingga
mereka merasa perlu menciptakan landasan ideologis yang kuat agar tidak
terpengaruh oleh ide-ide sekuler yang selalu berubah. Dengan agama yang kuat,
anak-anak dapat menahan diri dalam gejolak pandangan hidup yang beragam, membingungkan,
bahkan menyesatkan. Dengan menjadi Santri, harapkan orang tua akan menjadi
orang yang berpegang teguh pada keyakinannya sampai kematiannya, apa pun yang
terjadi.
Menjadi santri sejati
berarti menjadi orang yang ingin memahami kitab suci dan sunnah Nabi. Meskipun
bahasa aslinya adalah bahasa Arab, sehingga sulit bagi orang non-Arab untuk
memahaminya. Maka cara pertama bagi santri adalah belajar bahasa Arab dengan
unsur dasar Nahwu dan Sharf. Sederhananya, Nahwu adalah ilmu mengetahui posisi
kata dalam sebuah kalimat dan cara membaca akhiran huruf dari kata-kata
tersebut. Pengetahuan ini memungkinkan kita untuk menentukan apakah kalimat
tersebut menghasilkan makna yang dapat dipahami. Sharf sendiri, seperti
namanya, adalah ilmu yang berfokus pada perubahan bentuk kata. Keduanya adalah
keharusan jika ingin memahami semua kitab kuning yang merupakan turunan atau
deskripsi dari Al-Qur'an dan Hadits.
Tentu saja, buku-buku
tertentu dengan penelitian yang lebih dalam memerlukan pengetahuan khusus
seperti: Mantik (logika), sejarah khususnya Asbabun Nuzul dalam Quran dan
Asbabul Wurd dalam Hadits sangat penting. Oleh karena itu, menjadi Santri
adalah cara yang sangat strategis dan tepat untuk menemukan jalan hidup yang
baik tidak hanya di dunia ini tetapi juga di akhirat. Nahwu dan Sharf secara
khusus disebut ilmu-ilmu alat karena merupakan ilmu memahami bahasa yang
digunakan dalam kitab-kitab Al-Qur'an dan Hadits. Hal ini memungkinkan kita
untuk lebih cepat memahami pengetahuan yang dikandungnya. Keduanya seolah
menjadi alat pencari ikan untuk menangkap ikan. Apalagi jika kita perlu
menangkap ikan di lautan luas. Deskripsi bahwa laut adalah tempat memancing
juga sangat akurat. Karena Al-Qur'an menggambarkan dirinya sebagai pengetahuan
tentang Allah. Tetapi pencari ikan, meskipun ada ikan di laut dan ikan kecil
yang bermain-main, tidak dapat menangkap seekor ikan pun kecuali dia
menggunakan alat tangkap yang tepat.
Misalkan lagi, ketika
kita berenang dengan tangan kosong di lautan, tidak peduli seberapa kecil ikan
yang Anda kejar, itu hanya akan membuat Anda lelah. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa mereka yang masuk pesantren dan mendalami Al-Qur'an secara
maksimal, tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang alat dan tidak serius
menguasai ilmu alat, tidak dapat memahami pengetahuan yang disampaikan secara
umum. Dia bosan hanya duduk-duduk dan bosan dan mengantuk. Baginya, hal itu
menimbulkan kompleksitas dalam konseptual. Banyak pengetahuan yang disampaikan
hanya masuk ke telinga kanan dan menghilang lagi di telinga kiri, karena tidak
dapat diproses di otak dengan kapasitas linguistik yang memadai.
Di Pesantren juga santri
bisa benar-benar memanfaatkan waktu untuk fokus belajar. Santri yang memiliki
hak sejati dan kemauan yang kuat untuk belajar dari bangun tidur hingga tertidur
kembali, pola belajar santri dengan kiai, sering diulang-ulang sebagai konsep
pemahaman secara menyeluruh. Santri mulai memahami hubungan antara satu simpul
pemahaman dan simpul pemahaman lainnya. Jadi keseluruhannya seperti jaring
laba-laba ilmiah, yang titik pusatnya adalah sumber Al-Qur'an dan Sunnah Nabi
Muhammad. Juga di pesantren, santri yang benar-benar ingin menjadi orang dengan
banyak kekuatan memperhatikan setiap gerakan yang mereka bangun. Aktif siang
dan malam. Karena Pesantren memiliki moral yang dilihat sebagai feodalisme oleh
mereka yang mendukung egalitarianisme. Namun, santri menawarkan pandangan yang
lebih jauh tentang kehidupan Kiai, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, dan
seringkali juga mencapai ranah siyasah (politik), bersama dengan beberapa
pesantren lain, tergantung sejauh mana keterlibatan politik mereka. Dalam
konteks ini, Kiai juga menjadi seseorang yang benar-benar bisa disebut guru dalam
istilah bahasa Jawa, ditiru dan digugu
(dipercaya bahasanya). Dipercaya memiliki kekuatan juga, setelah "omben omben" (air do’a yang
dilantunkan untuk minum), itu percaya sebagai obat, jampi kiai-nya konon
berkhasiat mengobati penyakit. Namun, aplikasinya juga harus akurat. Itu
hanyalah sebagai jalan alternatif Jika sakit, karena saat ini hampir semua
pesantren sudah mempunyai Pusat Kesehatan Pesantren yang menangani secara ilmu
medis. Santri akan dirujuk ke tempat tersebut, karena tidak cukup hanya dengan
membuatkan air untuk membaca doa.
Santri yang sungguh-sungguh
belajar menekuni dari kehidupan Kiainya memiliki potensi diri yang cukup untuk
memperoleh ilmu dari sang Kiai, dimulai pada sanad belajar, belajar kesabaran, dan
belajar ilmu pengetahuan. Kemampuan memimpin dan mengelola masyarakat diolah
dengan adanya organisasi-organisasi yang ada dalam kesantrian, biasanya
berbentuk organisasi daerah. Hal ini karena nantinya ketika sudah terjun
kedalam masyarakat atau ummat justru menjadi mitra untuk terus belajar dan
mengajar, memperoleh baik pengetahuan baru maupun keterampilan retorika. Karena
tidak bisa dipungkiri santri adalah penerus mandat kiai di masyarakat dengan
lingkup yang lebih besar. Karena Kiai juga manusia biasa dalam kesehariannya
yang membutuhkan penerus di waktu mendatang.
Santri yang memiliki
kemampuan cukup baik tetapi tidak terlalu menonjol biasanya kembali ke kampung
halaman atau bermigrasi ke tempat lain juga untuk menjadi ruh keilmuan di desa,
mereka sebagai referensi. semangat Ketika hidup rakyatnya dalam kesulitan,
mereka memiliki tawaran. Santri-santri ini menjelma menjadi kiai desa dan
menjadi 'jangkar' kiai pesantren dalam konteks kehidupan masyarakat luas,
terutama dalam memperkuat dukungan politik. Santri yang mempunyai nilai lebih
biasanya dinikahkan dengan anak-anak Kiai karena dikatakan memiliki kemampuan
untuk melanjutkan proses pendidikan di Pesantren. Secara politis justru
memperkecil peluang pesaing baru mengurangi pengaruh kiai atau penerusnya di
pesantren-pesantren masa depan, pengaruhnya tetap terpusat dan tidak menyebar
ke pihak lain.
Selama satu dekade
terakhir, mobilitas Santri sedikit berubah. Yang sebelumnya kita tahu bahwa
santri ketika selepas dari pesantren dan melanjutkjan ke perguruan tinggi, terbatas pada Perguruan Tinggi Islam, yang
berfokus pada penelitian yang hanya merupakan pengulangan sejati dari apa yang
dipelajari sebelumnya di Pesantren, Santri berhasil menyusup ke dalam struktur
kekuasaan dan selanjutnya mengembangkan kebijakan untuk membuka jalan bagi Santri
untuk memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengakses pendidikan tinggi.
Meskipun dalam hal kuantitas masih belum mampu melampaui dari kalangan umum.
Namun, jumlah santri
terus bertambah, dan cakupan asal mereka meluas dari kalangan rumah tangga
kelas menengah keatas. Oleh karena itu, melihat masa depan Indonesia secara
linier, itu adalah masa depan yang diwarnai oleh Santri. Jadi jangan takut
menjadi santri. Sebaliknya, banggalah menjadi santri dan mahasantri dikalangan
akademik perguruan tinggi. Menjadi Santri berarti menjadi manusia yang rela
menjalani dua kehidupan: pertama kehidupan akhirat sementara dan kehidupan
abadi kedua setelah kematian. Dan yang terpenting, menjadi Santri yang sangat
kritis dan berbudaya. Bukan sekedar menelan doktrin, tapi juga
mentransformasikan doktrin kaku menjadi nilai kehidupan dan mengkonstruksi cara
membangun peradaban maju.
Wallahu a'lam bis Shawab.