Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Santri : Ujung Tombak dalam Membangun Negeri

Rabu, 21 September 2022 | September 21, 2022 WIB Last Updated 2022-09-23T08:12:19Z


gambar : https://artsandculture.google.com/asset/banu-musa-and-the-science-of-tricks/2AH-ohqJRa1i9Q?hl=id

Pembaca artikel ini mungkin akan teringat bahwa dunia santri bukanlah dunia biasa. Meskipun kehidupan sehari-hari mereka seperti kebanyakan siswa pada umumnya, tetapi banyak penekanan khusus dalam berbagai pelajaran ditekankan di pesantren. Didorong oleh kesadaran yang baru, membantu siswa lebih memahami bidang agama, kebanyakan orang tua mendorong anak-anak mereka untuk pergi ke pesantren dan belajar disana untuk menjadi Santri. Contoh sederhana dari kebutuhan ini adalah ketika orang tua sebenarnya sudah tua dan tahu apa yang terjadi di akhirat. Dan pada saat kematian, tidak ada yang lebih penting daripada doa-doa dari generasi yang saleh dan murni yang mereka tinggalkan. Jika generasi mereka tidak memahami ini, mereka akan dilupakan setelah kematian dengan begitu saja.

Modernitas, dalam segala implikasinya, membuat para orang tua khawatir akan masa depan anak-anaknya, sehingga mereka merasa perlu menciptakan landasan ideologis yang kuat agar tidak terpengaruh oleh ide-ide sekuler yang selalu berubah. Dengan agama yang kuat, anak-anak dapat menahan diri dalam gejolak pandangan hidup yang beragam, membingungkan, bahkan menyesatkan. Dengan menjadi Santri, harapkan orang tua akan menjadi orang yang berpegang teguh pada keyakinannya sampai kematiannya, apa pun yang terjadi.

Menjadi santri sejati berarti menjadi orang yang ingin memahami kitab suci dan sunnah Nabi. Meskipun bahasa aslinya adalah bahasa Arab, sehingga sulit bagi orang non-Arab untuk memahaminya. Maka cara pertama bagi santri adalah belajar bahasa Arab dengan unsur dasar Nahwu dan Sharf. Sederhananya, Nahwu adalah ilmu mengetahui posisi kata dalam sebuah kalimat dan cara membaca akhiran huruf dari kata-kata tersebut. Pengetahuan ini memungkinkan kita untuk menentukan apakah kalimat tersebut menghasilkan makna yang dapat dipahami. Sharf sendiri, seperti namanya, adalah ilmu yang berfokus pada perubahan bentuk kata. Keduanya adalah keharusan jika ingin memahami semua kitab kuning yang merupakan turunan atau deskripsi dari Al-Qur'an dan Hadits.

Tentu saja, buku-buku tertentu dengan penelitian yang lebih dalam memerlukan pengetahuan khusus seperti: Mantik (logika), sejarah khususnya Asbabun Nuzul dalam Quran dan Asbabul Wurd dalam Hadits sangat penting. Oleh karena itu, menjadi Santri adalah cara yang sangat strategis dan tepat untuk menemukan jalan hidup yang baik tidak hanya di dunia ini tetapi juga di akhirat. Nahwu dan Sharf secara khusus disebut ilmu-ilmu alat karena merupakan ilmu memahami bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab Al-Qur'an dan Hadits. Hal ini memungkinkan kita untuk lebih cepat memahami pengetahuan yang dikandungnya. Keduanya seolah menjadi alat pencari ikan untuk menangkap ikan. Apalagi jika kita perlu menangkap ikan di lautan luas. Deskripsi bahwa laut adalah tempat memancing juga sangat akurat. Karena Al-Qur'an menggambarkan dirinya sebagai pengetahuan tentang Allah. Tetapi pencari ikan, meskipun ada ikan di laut dan ikan kecil yang bermain-main, tidak dapat menangkap seekor ikan pun kecuali dia menggunakan alat tangkap yang tepat.

Misalkan lagi, ketika kita berenang dengan tangan kosong di lautan, tidak peduli seberapa kecil ikan yang Anda kejar, itu hanya akan membuat Anda lelah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa mereka yang masuk pesantren dan mendalami Al-Qur'an secara maksimal, tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang alat dan tidak serius menguasai ilmu alat, tidak dapat memahami pengetahuan yang disampaikan secara umum. Dia bosan hanya duduk-duduk dan bosan dan mengantuk. Baginya, hal itu menimbulkan kompleksitas dalam konseptual. Banyak pengetahuan yang disampaikan hanya masuk ke telinga kanan dan menghilang lagi di telinga kiri, karena tidak dapat diproses di otak dengan kapasitas linguistik yang memadai.

Di Pesantren juga santri bisa benar-benar memanfaatkan waktu untuk fokus belajar. Santri yang memiliki hak sejati dan kemauan yang kuat untuk belajar dari bangun tidur hingga tertidur kembali, pola belajar santri dengan kiai, sering diulang-ulang sebagai konsep pemahaman secara menyeluruh. Santri mulai memahami hubungan antara satu simpul pemahaman dan simpul pemahaman lainnya. Jadi keseluruhannya seperti jaring laba-laba ilmiah, yang titik pusatnya adalah sumber Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad. Juga di pesantren, santri yang benar-benar ingin menjadi orang dengan banyak kekuatan memperhatikan setiap gerakan yang mereka bangun. Aktif siang dan malam. Karena Pesantren memiliki moral yang dilihat sebagai feodalisme oleh mereka yang mendukung egalitarianisme. Namun, santri menawarkan pandangan yang lebih jauh tentang kehidupan Kiai, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, dan seringkali juga mencapai ranah siyasah (politik), bersama dengan beberapa pesantren lain, tergantung sejauh mana keterlibatan politik mereka. Dalam konteks ini, Kiai juga menjadi seseorang yang benar-benar bisa disebut guru dalam istilah bahasa Jawa, ditiru dan digugu (dipercaya bahasanya). Dipercaya memiliki kekuatan juga, setelah "omben omben" (air do’a yang dilantunkan untuk minum), itu percaya sebagai obat, jampi kiai-nya konon berkhasiat mengobati penyakit. Namun, aplikasinya juga harus akurat. Itu hanyalah sebagai jalan alternatif Jika sakit, karena saat ini hampir semua pesantren sudah mempunyai Pusat Kesehatan Pesantren yang menangani secara ilmu medis. Santri akan dirujuk ke tempat tersebut, karena tidak cukup hanya dengan membuatkan air untuk membaca doa.

Santri yang sungguh-sungguh belajar menekuni dari kehidupan Kiainya memiliki potensi diri yang cukup untuk memperoleh ilmu dari sang Kiai, dimulai pada sanad belajar, belajar kesabaran, dan belajar ilmu pengetahuan. Kemampuan memimpin dan mengelola masyarakat diolah dengan adanya organisasi-organisasi yang ada dalam kesantrian, biasanya berbentuk organisasi daerah. Hal ini karena nantinya ketika sudah terjun kedalam masyarakat atau ummat justru menjadi mitra untuk terus belajar dan mengajar, memperoleh baik pengetahuan baru maupun keterampilan retorika. Karena tidak bisa dipungkiri santri adalah penerus mandat kiai di masyarakat dengan lingkup yang lebih besar. Karena Kiai juga manusia biasa dalam kesehariannya yang membutuhkan penerus di waktu mendatang.

Santri yang memiliki kemampuan cukup baik tetapi tidak terlalu menonjol biasanya kembali ke kampung halaman atau bermigrasi ke tempat lain juga untuk menjadi ruh keilmuan di desa, mereka sebagai referensi. semangat Ketika hidup rakyatnya dalam kesulitan, mereka memiliki tawaran. Santri-santri ini menjelma menjadi kiai desa dan menjadi 'jangkar' kiai pesantren dalam konteks kehidupan masyarakat luas, terutama dalam memperkuat dukungan politik. Santri yang mempunyai nilai lebih biasanya dinikahkan dengan anak-anak Kiai karena dikatakan memiliki kemampuan untuk melanjutkan proses pendidikan di Pesantren. Secara politis justru memperkecil peluang pesaing baru mengurangi pengaruh kiai atau penerusnya di pesantren-pesantren masa depan, pengaruhnya tetap terpusat dan tidak menyebar ke pihak lain.

Selama satu dekade terakhir, mobilitas Santri sedikit berubah. Yang sebelumnya kita tahu bahwa santri ketika selepas dari pesantren dan melanjutkjan ke perguruan tinggi,  terbatas pada Perguruan Tinggi Islam, yang berfokus pada penelitian yang hanya merupakan pengulangan sejati dari apa yang dipelajari sebelumnya di Pesantren, Santri berhasil menyusup ke dalam struktur kekuasaan dan selanjutnya mengembangkan kebijakan untuk membuka jalan bagi Santri untuk memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengakses pendidikan tinggi. Meskipun dalam hal kuantitas masih belum mampu melampaui dari kalangan umum.

Namun, jumlah santri terus bertambah, dan cakupan asal mereka meluas dari kalangan rumah tangga kelas menengah keatas. Oleh karena itu, melihat masa depan Indonesia secara linier, itu adalah masa depan yang diwarnai oleh Santri. Jadi jangan takut menjadi santri. Sebaliknya, banggalah menjadi santri dan mahasantri dikalangan akademik perguruan tinggi. Menjadi Santri berarti menjadi manusia yang rela menjalani dua kehidupan: pertama kehidupan akhirat sementara dan kehidupan abadi kedua setelah kematian. Dan yang terpenting, menjadi Santri yang sangat kritis dan berbudaya. Bukan sekedar menelan doktrin, tapi juga mentransformasikan doktrin kaku menjadi nilai kehidupan dan mengkonstruksi cara membangun peradaban maju.

Wallahu a'lam bis Shawab.

×
Berita Terbaru Update